Seven Summiter Indonesia yang juga seorang World Seven Summiter.

Sofyan Arief Fesa seorang pendaki asal Bandung yang tergabung di organisasi Mahitala Unpar Bandung, menambah daftar pendaki The Seven Summits of Indonesia. Bapak dari tiga orang anak ini yang berprofesi sebagai Mountain Consultant dan Pendaki Gunung telah menyelesaikan sirkuit tujuh puncak Indonesianya pada tanggal 17 Juli 2013 di Puncak Kakam gunung Bukit Raya, titik tertinggi pulau Kalimantan Indonesia. Sofyan mengetahui konsep The Seven Summits of Indonesia semenjak pertama kali dicetuskan pada tahun 2008 di kalangan komunitas Highcamp the Adventure.

” Suatu sirkuit untuk memotivasi para pendaki agar mempunyai sesuatu yang hendak dicapai. Selain 7 summits pun bahkan ada beberapa lokasi membuat suatu sirkuit yang serupa untuk menantang para pelaku/pendaki dan meningkatkan daya tarik kunjungan ke daerah tersebut. Contohnya sekarang ada 7summits Sembalun atau bahkan sampai ke beberapa provinsi dan kota pun ada, dari yang dasar nya kuat maupun tidak kuat”. Ujar Sofyan saat ditanya pendapatnya mengenai konsep 7 puncak tertinggi di 7 pulau/kepulauan besar Indonesia.

Mengaku tertarik menyelesaikan 7 summits Indonesia setelah dia berhasil menyelesaikan pendakian World Seven Summits bersama tim organisasinya yaitu Mahitala Unpar. Karena terkendala beberapa file foto yang hilang sehingga membuat dia terlambat untuk mendaftarkan pencapaian 7 summits Indonesianya.

Ketika ditanya mengenai kendala yang dihadapinya saat menyelesaikan 7 summits Indonesianya, Sofyan menjelaskan;
“Tidak begitu. Walaupun kendala terberat adalah biaya yang lumayan tinggi, tetapi saya mengakali nya dengan membuat sebuah trip atau sharing cost pada pelaksanaannya, karena sejak 2012 saya mencoba berprofesi sebagai Pemandu Gunung dan leading sebuah perjalanan, maka untuk pendakian Bukit Raya, Binaiya, Latimojong, dan Kerinci dibuat semacam sharing cost dan bertugas sebagai pemandu. Sedangkan untuk Carstensz saat 2009 lalu saya berdalih bersama sebuah team untuk mengganti tali dan anchor di sepanjang jalur pendakian ke Puncak Carstensz dengan membawa sekitar 900M tali, dan puluhan Hanger plus carabiner untuk ditinggalkan sebagai keamanan. Hal ini pada agustus 2014 di ulang dengan team yang berbeda. Kendala terberat bagi pendaki lain, pastinya biaya yang cukup tinggi, akses dan perizinan yang seperti di Carstensz”.

Sebagai seorang pendaki Sofyan berharap saat mendaki gunung sampai di puncak titik tertinggi gunung tersebut, namun adanya kebijakan zonasi di sebuah gunung seperti Gunung Binaya yang berada dibawa kendali Taman Nasional Manusela yang merubah kebijakan Zonasinya sehingga menyebabkan titik tertingginya menjadi daerah yang dilarang untuk dimasuki.

“Lalu Semeru yang secara kebijakan TNBTS tidak menyarankan dan tidak bertanggung jawab untuk mendaki sampai Puncak Mahameru, menjadi dilema bagi pendaki yang secara massal sudah diacuhkan juga, yang semoga hal ini menjadi perhatian para pengelola Taman Nasional. Sejak erupsi 2020 lalu sampai saat  ini statusnya masih ditutup, walau sebenarnya saya tahu ada beberapa orang/pendaki dan team yang mendaki secara diam-diam tidak berizin untuk mendaki dan mencapai Puncak Semeru”.

“Kemudian Carstensz Pyramid yang kenyataannya para pendaki berbeda-beda saat approaching sampai ke kaki gunung nya. memang secara adventure jalur trekking seharusnya yang diperhitungkan, tetapi dengan tingkat keamanan yang “berbahaya” maka jalur Freeport yang berizin resmi untuk melintas dan masuk kawasan tambang Freeport maupun tidak berizin resmi (yang sejak 2017 sampai saat ini banyak yang menggunakan akses ini, khususnya bagi WNI), dan akses Helicopter yang bisa sampai kaki gunung (yellow valley) menjadi pilihan yang sangat memudahkan para pendaki walau akhirnya biaya tinggi juga berperan untuk terlaksananya pencapaiannya. walaupun bagi beberapa pendaki, pendakian ke Puncak Carstensz cukup challenging ataupun bagi yang sudah biasa melakukan kegiatannya bisa dibilang biasa saja. Secara perizinan dari pihak Taman Nasional Lorentz yang saya ketahui sejak akhir 2019 sampai 2024 status nya ditutup seperti Semeru, dan baru dibuka Mei 2024 lalu. Sedangkan akses Freeport yang tidak berizin resmi sebenarnya hanya hubungan si pendaki dengan Freeport saja, dibilang illegal hanya oleh Freeport karena masuk kawasan secara diam-diam tak berizin, selama gunung nya oleh pengelola/Taman Nasional boleh didaki seharusnya statusnya menjadi legal, walau kenyataannya ada pendaki yang mengantongi izin resmi atau pun tidak dari pihak Taman Nasional sebagai pihak yang mengeluarkan izin”.

“Apabila ditelaah hal diatas ini memang cukup dilematis. sebagai pendaki gunung ada saja bagaimana caranya bisa mencapai puncak tertingginya, ada yang mentaati peraturan ada pula yang mengesampingkan perihal perizinan. Ketika Siale tidak diharapkan didaki karena zonasi (inti),lalu  ketika Semeru dan Carstensz yang statusnya ditutup tetapi tetap didaki, semuanya menjadi sebuah hal yang sama.” Demikian uraian Sofyan terkait harapannya sebagai pendaki

Sofyan juga menyarankan, “Apabila ingin fair yang tidak berizin resmi tidak berhak mengklaim 7 Summits Indonesia ini, misal ada tambahan bukti surat perizinan/simaksi/tiket pendakian saat mengklaimnya sebagai syaratnya. Ataupun kalau mau mengesampingkan perihal perizinan. mungkin konsep nya bisa dikembangkan seperti 7 Summit dunia, yang ada list secara Dick Bass (pakai Gn.Kosciuszko di Australia) dan list Messner (pakai Carstensz), yang akhirnya ada list yang sampai puncak tertinggi nya (dengan tambahan Siale) dan list yang saat ini diberlakukan. Karena sangat memungkinkan suatu saat ada perubahan zonasi ataupun dari pihak para pendaki apabila didorong secara massal memang bisa mengajukan untuk perubahan zonasi tersebut. “

Harapan Sofyan diatas sudah menjadi harapan The Seven Summits of Indonesia saat Taman Nasional Manusela merubah zona intinya, dan mengharuskan The Seven Summits of Indonesia untuk tidak mempromosikan daerah zona inti tersebut, dan akhirnya menjadi sebuah dilema bagi 7 Summits Indonesia yang harus tunduk dan patuh pada aturan pemerintah yang secara lansung mengharuskan hal tersebut pada 7 Summits Indonesia. Harapannya kedepan adalah mungkin stake holder terkait bisa mencarikan solusi yang win-win untuk hal ini sehingga harapan Sofyan yang pastinya menjadi harapan kita semua sebagai pendaki gunung bisa terlaksana.

Sofyan juga menyoroti mengenai kondisi gunung-gunung Indonesia dewasa ini, dimana tingginya tingkat kunjungan telah meninggalkan impak-impak negatif pada gunung, khususnya mengenai sampah Sofyan berpendapat. “Suatu problematika yang menjadi habit masyarakat Indonesia. memang edukasi tentang membuang sampah sudah dimana-mana, hanya kesadarannya belum mencapai ke semua masyarakat. Yang saya bisa lakukan minimal jangan pernah untuk membuang sampah ketika berkegiatan di alam maupun ketika menjalankan kehidupan sehari-hari di kota, selanjutnya harus selalu mengedukasi dan mengingatkan kawan-kawan setim saat melakukan pendakian, maupun team lain ketika ketemu. Sejak 2014 sampai saat ini saya tergabung menjadi anggota gerakan Leave No Trace yang berpusat di Amerika, selalu mendapat edukasi dan berhak untuk mengedukasi orang lain tentang konsep LNT tersebut. Tetapi dampaknya kecil, dan hanya sebatas itu yang baru bisa dilakukan, tidak sebanding dengan peningkatan penggiat ke gunung yang semakin sangat banyak terlebih pasca pandemic.”

“Hal lain yang saya turut pikirkan memang ada inovasi produk yang bisa meminimalisir seperti akhirnya saya turut mengeluarkan produk makanan siap saji (H-Eat), ataupun bisa mencoba system Zero Waste Management dalam sebuah pendakian, atau merubah pola jalan sebuah pendakian yang asalnya berkemping-kemping lama-lamaan diubah menjadi secara singkat dan tanpa kemping agar.” Ujar Sofyan menutup wawancara tertulis kami.